Ketika Terjadi Kerugian Usaha dalam Mudharabah
08 Oktober 2016
Sejak zaman dahulu, dalam dunia bisnis, manusia telah mengenal
dua hal yang saling berlawanan, yaitu keuntungan dan kerugian. Kedua
hal ini senantiasa ada dalam dunia bisnis, dan tidak mungkin dapat
dipisahkan. Walau manusia telah berhasil mencapai berbagai kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi mereka tetap saja tidak
mampu menemukan cara untuk memisahkan antara keduanya. Ini semua
dikarenakan keuntungan dan kerugian dalam perniagaan memiliki banyak
sebab, mulai dari faktor yang datang dari kejadian alam seperti
misalnya bencana alam, hingga berbagai hal yang berkenaan dengan
kesalahan pelaku usaha. Oleh karena itu, setiap orang yang hendak
menggeluti dunia bisnis, harus telah menyiapkan mental dan strategi
guna menghadapi salah satu dari dua hal tersebut.
Karena agama Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah Allah Ta’ala yang telah diturunkan ke bumi ini, maka kedua hal ini senantiasa mendapatkan perhatian. Para ulama menggambarkan perhatian Islam terhadap dua hal ini dalam sebuah kaidah,
الغنم بالغرم
“Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian“.
Atau dalam ungkapan lain sering juga disebut,
الخراج بالضمان
“Penghasilan/kegunaan adalah imbalan atas kesiapan menanggung jaminan.”
Maksud kaidah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian -jika hal itu terjadi-. Kaidah ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا، فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم: (الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ). رواه أحمد وأبو داود والترمذي والنسائي وحسنه الألباني
“Dari sahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata, ‘Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Keuntungan adalah imbalan atas kerugian.’” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzy, an-Nasai dan dihasankan oleh al-Albani).
Abu Ubaid menjelaskan maksud hadits ini dengan berkata, “Yang dimaksud dengan keuntungan pada hadits ini adalah hasil pekerjaan budak tersebut yang telah dibeli oleh pembeli, kemudian ia pekerjakan beberapa waktu. Setelah ia mempekerjakannya, ia menemukan cacat yang sengaja ditutup-tutupi oleh penjual, sehingga pembelipun mengembalikan budak tersebut dan pembeli berhak mengambil uang pembayarannya dengan utuh. Dengan demikian, ia telah mendapat keuntungan berupa seluruh hasil pekerjaan budak tersebut (selama ada di tangannya -ed). Hal ini dikarenakan budak tersebut -sebelum dikembalikan- merupakan tanggung jawab pembeli. Seandainya budak tersebut mati, maka budak itu dihitung dari hartanya (ia yang menanggung kerugiannya).”
Seusai menyebutkan ucapan Abu Ubaid di atas, as-Suyuthi berkata, “Para ahli fikih juga menyatakan demikian. Makna hadits tersebut ialah segala yang dihasilkan oleh suatu hal, baik berupa penghasilan, manfaat, atau suatu benda, maka itu adalah milik pembeli sebagai imbalan atas tanggung jawabnya sebagai pemilik. Karena, andaikata barang yang telah ia beli tersebut mengalami kerusakan, maka kerusakan itu tanggung jawabnya. Oleh karenanya hasilnya pun menjadi miliknya, agar benar-benar keuntungan menjadi pengganti atas kerugian.” (Baca al-Asybah wa an-Nazhair oleh as-Suyuthi hal. 136. Baca juga al-Mantsur Fi al-Qawaidh oleh az-Zarkasyi 1/328, Aun al-Ma’bud oleh al-Azhim al-Abadi 8/3 dan Tuhfaz al-Ahwazi oleh al-Mubarakfuri 3/397).
Demikianlah semestinya peniagaan dijalankan, yaitu setiap orang yang berniaga mencari keuntungan, maka dia harus siap menanggung kerugian yang mungkin terjadi. Bila seorang pedagang berupaya untuk melepaskan diri dari tanggung jawab atas kerugian yang mungkin terjadi, maka upaya tersebut sudah dapat dipastikan terlarang.
Bila kita mencermati berbagai bentuk transaksi riba, niscaya kita dapatkan bahwa para pemakan riba nyata-nyata melanggar kaidah ini. Seorang rentenir hanya ingin menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya, sedangkan ia tidak sedikitpun sudi untuk menanggung kerugian. Bahkan, ia ingin tetap mendapatkan keuntungan (bunga) walaupun nasabah mengalami kerugian.
Dan dikarenakan mudharabah adalah salah satu bentuk perniagaan, maka kaidah inipun berlaku padanya. Oleh karena itu para ulama menjelaskan bahwa kerugian yang berkaitan dengan modal (materi) menjadi tanggung jawab pemodal, sedangkan kerugian non-materi, (skiil/tenaga) menjadi tanggung jawab pengusaha.
Andai pemodal mensyaratkan agar pengusaha menjamin modalnya, sehingga bila terjadi kerugian modal dikembalikan utuh, maka persyaratan adalah persyaratan yang tidak sah (Baca Badaa’i ash-Shanaa’ii oleh al-Kasani al-Hanafy 5/119, al-Mughni oleh Ibnu Qudaamah 7/176, Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami oleh Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hal. 291).
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri
Karena agama Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah Allah Ta’ala yang telah diturunkan ke bumi ini, maka kedua hal ini senantiasa mendapatkan perhatian. Para ulama menggambarkan perhatian Islam terhadap dua hal ini dalam sebuah kaidah,
الغنم بالغرم
“Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian“.
Atau dalam ungkapan lain sering juga disebut,
الخراج بالضمان
“Penghasilan/kegunaan adalah imbalan atas kesiapan menanggung jaminan.”
Maksud kaidah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian -jika hal itu terjadi-. Kaidah ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا، فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم: (الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ). رواه أحمد وأبو داود والترمذي والنسائي وحسنه الألباني
“Dari sahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata, ‘Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Keuntungan adalah imbalan atas kerugian.’” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzy, an-Nasai dan dihasankan oleh al-Albani).
Abu Ubaid menjelaskan maksud hadits ini dengan berkata, “Yang dimaksud dengan keuntungan pada hadits ini adalah hasil pekerjaan budak tersebut yang telah dibeli oleh pembeli, kemudian ia pekerjakan beberapa waktu. Setelah ia mempekerjakannya, ia menemukan cacat yang sengaja ditutup-tutupi oleh penjual, sehingga pembelipun mengembalikan budak tersebut dan pembeli berhak mengambil uang pembayarannya dengan utuh. Dengan demikian, ia telah mendapat keuntungan berupa seluruh hasil pekerjaan budak tersebut (selama ada di tangannya -ed). Hal ini dikarenakan budak tersebut -sebelum dikembalikan- merupakan tanggung jawab pembeli. Seandainya budak tersebut mati, maka budak itu dihitung dari hartanya (ia yang menanggung kerugiannya).”
Seusai menyebutkan ucapan Abu Ubaid di atas, as-Suyuthi berkata, “Para ahli fikih juga menyatakan demikian. Makna hadits tersebut ialah segala yang dihasilkan oleh suatu hal, baik berupa penghasilan, manfaat, atau suatu benda, maka itu adalah milik pembeli sebagai imbalan atas tanggung jawabnya sebagai pemilik. Karena, andaikata barang yang telah ia beli tersebut mengalami kerusakan, maka kerusakan itu tanggung jawabnya. Oleh karenanya hasilnya pun menjadi miliknya, agar benar-benar keuntungan menjadi pengganti atas kerugian.” (Baca al-Asybah wa an-Nazhair oleh as-Suyuthi hal. 136. Baca juga al-Mantsur Fi al-Qawaidh oleh az-Zarkasyi 1/328, Aun al-Ma’bud oleh al-Azhim al-Abadi 8/3 dan Tuhfaz al-Ahwazi oleh al-Mubarakfuri 3/397).
Demikianlah semestinya peniagaan dijalankan, yaitu setiap orang yang berniaga mencari keuntungan, maka dia harus siap menanggung kerugian yang mungkin terjadi. Bila seorang pedagang berupaya untuk melepaskan diri dari tanggung jawab atas kerugian yang mungkin terjadi, maka upaya tersebut sudah dapat dipastikan terlarang.
Bila kita mencermati berbagai bentuk transaksi riba, niscaya kita dapatkan bahwa para pemakan riba nyata-nyata melanggar kaidah ini. Seorang rentenir hanya ingin menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya, sedangkan ia tidak sedikitpun sudi untuk menanggung kerugian. Bahkan, ia ingin tetap mendapatkan keuntungan (bunga) walaupun nasabah mengalami kerugian.
Dan dikarenakan mudharabah adalah salah satu bentuk perniagaan, maka kaidah inipun berlaku padanya. Oleh karena itu para ulama menjelaskan bahwa kerugian yang berkaitan dengan modal (materi) menjadi tanggung jawab pemodal, sedangkan kerugian non-materi, (skiil/tenaga) menjadi tanggung jawab pengusaha.
Andai pemodal mensyaratkan agar pengusaha menjamin modalnya, sehingga bila terjadi kerugian modal dikembalikan utuh, maka persyaratan adalah persyaratan yang tidak sah (Baca Badaa’i ash-Shanaa’ii oleh al-Kasani al-Hanafy 5/119, al-Mughni oleh Ibnu Qudaamah 7/176, Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami oleh Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hal. 291).
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri
Mengenal Akad Mudharabah
21 Oktober 2010
Akad mudharabah telah diklaim oleh dunia perbankan
syariat sebagai prodak utama yang mereka tawarkan dan mendasari
berbagai transaksi mereka. Oleh karena itu, saya rasa sangat urgen bagi
kita untuk sedikit mengenal akad ini, agar kita dapat menerapkannya
dengan benar dan tidak teperdaya dengan nama besar yang kosong dari
hakikatnya.
Definisi Mudharabah
Definisi Mudharabah
Para ulama ahli fiqih dari berbagai madzhab telah berusaha
untuk memberikan gambaran yang jelas dan tuntas tentang akad ini. Walau
terjadi perbedaan ungkapan dalam mendefinisikan akad ini, akan tetapi
semuanya mengarah kepada suatu pemahaman yang sama, yaitu “suatu akad
serikat dagang antara dua pihak, pihak pertama sebagai pemodal,
sedangkan pihak kedua sebagai pelaksana usaha, dan keuntungan yang
diperoleh dibagi antara mereka berdua dalam persentase yang telah
disepakati antara keduanya.” (Al-Aziz oleh ar-Rafi’i 6/3, Aqdul Mudharabah Fil Fiqhil Islamy, oleh Dr. Zaid bin Muhammad ar-Rummaani, hal. 14, dan Syarikah al-Mudharabah fil Fiqhil Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir as-Silmy, 37).
Mudharabah dalam fiqih juga dikenal dengan sebutan al-Qiraadh, al-Muqaaradhah, dan al-Mu’amalah (Al-Aziz oleh ar-Rafi’i 6/3, Aqdul Mudharabah Fil Fiqhil Islamy, oleh Dr. Zaid bin Muhammad ar-Rummaani, hal. 14, dan Syarikah al-Mudharabah fil Fiqhil Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir as-Silmy, 37).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar