Gambaran Umum Peristiwa Talangsari
Konteks awal
terbentuknya jamaah Warsidi dimulai dengan pendirian Mushola Mujahidin oleh
Jayus dan keluarga pada 1977, yang selanjutnya diikuti dengan
pendirian
rumah dan pondok pesantren.
Pada sekitar
1984, Jayus berkenalan dengan Warsidi dan mengundang Warsidi
untuk
bergabung menjadi jamaah Mushola tersebut. Kurang lebih ½ tahun mengikuti kegiatan
di mushola tersebut, Jayus melihat bahwa Warsidi adalah orang yang tepat untuk
menjadi imam mushola. Kemudian pada 1986 Jayus mendirikan pondok pesantren dan
Warsidi menjadi imamnya.
Pengajian
Warsidi bercita-cita untuk menegakkan keadilan dan kebenaran khususnya
menegakkan syariat Islam. Kelompok ini mayoritas terdiri dari orang-
orang
pendukung NII (Negara Islam Indonesia)/Darul Islam (DI) faksi Abdullah Sungkar
ditambah faksi Ajengan Masduki dan Aceng Kurnia. Mereka berasal dari
Jakarta,
Solo, Bandung dan Lampung. Kelompok ini meyakini bahwa syariat Islam tidak akan
terwujud tanpa adanya negara Islam
Setelah terjadi peristiwa Tanjung Priok pada 1984,
terjadi penumpasan gerakan Islam termasuk Gerakan Abdullah Sungkar. Sebagian
pengikut kelompok Abdullah Sungkar yang berhasil lolos, kemudian melarikan diri
ke Jakarta dan bergabung dengan beberapa orang dari Jakarta (kelompok Jakarta)
yang telah mempunyai kelompok dan basis massa sendiri yaitu kelompok Nurhidayat
beranggotakan antara lain, Alex alias Muhammad Ali, Dede Saefudin, Darsono,
Fauzi Isman, Maulana Abdul Latif dan lain-lain. Sebagian lainnya melarikan diri
dari Solo ke Lampung danmenjadi jamaah Warsidi.
Lambat-laun,
kelompok yang berada di Jakarta berkembang dan kelompok ini memandang bahwa
suasana pada waktu itu sangat represif bagi perjuangan Islam. Oleh sebab itu,
dari serangkaian pertemuan yang mereka selenggarakan menyepakati bahwa untuk
memulai perjuangan Islam harus dilakukan dengan membuat basecamp dan
perkampungan Islam serta melakukan hijrah. Mereka memandang ada dua pilihan
untuk tempat hijrah yaitu Bima atau Lampung.
Dari hasil
pemantauan atau investigasi yang dilakukan, mereka mengetahui adanya kemiripan
gerakan mereka dengan gerakan di Lampung yaitu pengajian Warsidi. Oleh karena
itu, pada awal Agustus 1988, kelompok Jakarta yang diwakili oleh Nur Hidayat
Assegaf bertemu dengan anggota kelompok Warsidi yaitu Ir. Usman, Heri, Umar,
Sholeh di rumah Sofwan di Jl. Mardani, Jakarta Pusat. Pada akhir Agustus 1988
dilaksanakan pertemuan di rumah Haji Didin Solehudin di Cibinong. Pertemuan ini
dihadiri oleh sekitar 40 orang wakil dari beberapa daerah antara lain Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Lampung. Rapat menyepakati “untuk berbuat sesuatu guna mencegah
Indonesia dari kehancuran”. Rapat selanjutnya memilih Nurhidayat sebagai Amir
Musyafir dan menyepakati Lampung sebagai tempat hijrah dengan alasan bahwa di
Lampung cikal jamaah pengajian sudah terbentuk dan jauh dari Jakarta. Pada awal
September 1988 dilakukan peninjauan lokasi di Lampung oleh Nurhidayat, Darsono,
dkk. Mereka bertemu Warsidi dan menegaskan kembali Lampung sebagai tempat
hijrah. Dalam pertemuan itu, sebagai Amir Musyafir Nurhidayat diminta untuk
memerintahkan jamaahnya agar hijrah ke Lampung. Setelah itu, terjadi pengiriman
jamaah ke Lampung. Setiap wilayah diminta untuk mengirim dua orang wakil untuk
dikirim ke Lampung dan dilatih agar mempunyai empat kemampuan, yaitu fisik
(komando), dakwah, mencari dana dan konsolidasi.
Rangkaian Peristiwa Talangsari
Pada awal
bulan Januari 1989, Muspika Way Jepara mengadakan pertemuan yang juga dihadiri oleh
salah satu anggota jamaah bernama Rojai bersama istrinya yang bernama Sakeh.
Pertemuan tersebut memutuskan untuk membubarkan jamaah Talangsari dengan alasan
jamaah tidak taat dan memusuhi Pemerintah. Jamaah diberitahu informasi
tersebut, namun jamaah tidak takut karena merasa tidak bersalah.
Pada Januari
1989, pihak Kecamatan mengirimkan surat yang ditandatangani oleh Camat Way
Jepara bernama Zulkifli Maliki yang isinya meminta agar Warsidi menjelaskan
tentang status kegiatan pengajian dan pesantren yang disebutkannya sebagai
kegiatan tanpa ijin. Setelah bermusyawarah dengan jamaahnya, Warsidi membalas
surat panggilan tersebut dengan mengirimkan surat yang isinya; pertama, dengan
mengutip hadist, menyatakan bahwa sebaik-baiknya Umaro datang ke Ulama dan
sejelek-jeleknya Ulama yang datang ke Umaro; kedua, tidak dapat memenuhi
panggilan dikarenakan kesibukan mengisi pengajian dan ketiga, mempersilakan
Camat untuk datang sendiri ke lokasi pengajian/pesantren agar mengetahui
keadaan pesantren.
Selanjutnya,
pada sekitar akhir Januari 1989, Camat bersama rombongan datang ke lokasi
pondok dan menanyakan mengapa Warsidi tidak datang memenuhi undangan Camat
serta mengundang Warsidi sekali lagi secara lisan. Warsidi menjawab siap untuk
datang. Namun, setelah bermusyawarah dengan jamaahnya, Warsidi memutuskan tidak
memenuhi undangan lisan tersebut dengan alasan takut bahwa hal itu hanyalah
kedok untuk menangkap Warsidi.
Sehari
kemudian, seorang anggota Koramil Way Jepara yang bernama Serka Dahlan dan
Kepala Dusun (Kadus) Talangsari bernama Sukidi datang dan masuk ke Musholla
tanpa melepas sepatu dan marah-marah menantang jamaah. Ia mengatakan “Saya
tidak takut terhadap kalian!”. Hal ini membuat situasi mulai
memanas.
Pada awal
Pebruari 1989, seorang jamaah menerima informasi dari seorang anggota Koramil,
bahwa pondok akan dihancurkan oleh Pemerintah. Warsidi kemudian mengundang
jamaah ke mushola yang dihadiri oleh 50 orang untuk membahas situasi yang
berkembang. Diputuskan apapun resikonya, jamaah harus bertahan. Jamaah yang
berada di Cihideung kemudian mulai membuat panah dari bambu. Pada Sabtu malam,
4 Pebruari 1989, jamaah juga mulai melakukan penjagaan dengan mengambil alih
pos ronda dari masyarakat setempat. Pada Minggu, 5 Pebruari 1989 mulai pagi
hari, jamaah mempersiapkan diri dan berjaga terhadap segala kemungkinan jika
terjadi serangan. Mereka belajar memanah, membeli golok dan memperbaiki
panah-panah yang rusak serta membuat racun untuk dilekatkan pada panah-panah
mereka.
Minggu
malam, 5 Pebruari 1989 (menjelang tanggal 6 Pebruari 1989), penjagaan
dilakukan
oleh 7 (tujuh) orang jamaah yang bernama Mudiman, Mursyidin, Hardiwan, Abdul
Rahman, Muhdiyanto, Joko dan Ir Usman. Pos jaga jaraknya sekitar 400 meter dari
pondok arah Timur. Setelah jam 24.00, Serka Dahlan Bataud, anggota Koramil Way
Jepara, dan Babinsa bernama Koptu Rahman dibantu oleh masyarakat non jamaah
yang ronda di sebelah Timur, serta Pamong Desa dan Hansip mendatangi pos jaga
dan menodong para jamaah yang bertugas jaga pondok. Mereka diminta angkat
tangan. Selanjutnya, Serka Dahlan Bataud dari Koramil Way Jepara dan Babinsa
bernama Koptu Rahman mengikat 6 (enam) orang di antara mereka (kecuali Joko
alias Sadar yang melarikan diri), dan membawanya ke Koramil Way Jepara. Di
tengah jalan, 1 (satu) orang bernama Usman berhasil meloloskan diri dan kembali
ke pondok lalu melaporkan peristiwa penangkapan tersebut kepada Warsidi.
Malam itu
juga, Warsidi mengumpulkan jamaah. Warsidi menunjuk dan memerintahkan 11
(sebelas) orang yaitu Fadillah alias Sugito, Riyanto, Abadi Abdullah, Tardi
Nurdiansyah, Zainuri, Heriyanto, Beni, Muadi, Sodikin, Sugeng Yulianto, dan
Muklis di bawah pimpinan Fadillah alias Sugito untuk membebaskan 5 orang yang
ditangkap oleh aparat. Malam itu juga mereka berangkat dengan membawa senjata
berupa golok, panah serta bom Molotov.
Pada 6
Pebruari 1989, sekitar pukul 11.30 WIB, rombongan berjumlah sekitar 20
orang
terdiri atas Kasdim Metro bernama Mayor Oloan Sinaga, Danramil Way Jepara bernama
Kapten Sutiman, Serka Dahlan Bataud, Camat Way Jepara bernama Zulkifli Maliki
dan Stafnya, Lurah Rajabasa Lama bernama Amir Puspamega, Kadus Talangsari
bernama Sukidi, dan beberapa orang lagi menuju ke pondok pesantren Warsidi.
Kapten Sutiman mengendarai sepeda motor dan berada paling depan serta menembak
ke arah pos jaga. Mendengar tembakan tersebut, sekitar 4 orang yang sedang
tidur-tidur di pos jaga tersebut meneriakkan “Allahu Akbar”. Selanjutnya, jamaah
yang berada di pondok keluar dan mengejar ke arah suara tembakan tadi.
Sepeda motor Kapten Sutiman terjatuh dan dia
meninggalkan sepeda motornya dengan berlari mundur sambil terus menembak. Sedangkan,
rombongan yang lain berbalik arah dan melarikan diri meninggalkan pondok. Dalam
pelariannya, tidak jauh dari pondok, Kapten Sutiman dipanah oleh jamaah dan
terkena di dada kiri dan dada kanannya dan akhirnya Kapten Sutiman tewas dalam
kejadian tersebut. Setelah sholat dhuhur berjamaah, Jamaah mengubur jenazah
Kapten Sutiman. Jamaah yang lain melakukan pembongkaran jembatan di jalan-jalan
keluar masuk pondok serta membuat lubang di jalan yang tidak terhalang oleh
sungai supaya pihak luar tidak bisa masuk ke lokasi pondok.
Sementara
itu, setibanya di Way Jepara 11 (sebelas) orang utusan Warsidi tidak berhasil
membebaskan 5 (lima) orang yang ditangkap aparat karena sudah dipindahkan ke Kodim Metro. Mereka memutuskan
untuk pergi ke rumah Zamzuri di Sidorejo. Kemudian mereka mengutus salah seorang
untuk memberitahukan Warsidi mengenai kegagalan pembebasan jamaah. Sekembalinya
dari Warsidi, Ia membawa informasi kematian Kapten Sutiman dan perintah Warsidi
untuk membuat kekacauan di Bandar Lampung guna mengalihkan perhatian Pemerintah
dan TNI.
Selanjutnya,
pada Selasa, 7 Pebruari 1989, sekitar pukul 00.00 WIB, datang mobil Fuso hilir
mudik di sekitar pondok pesantren Cihideung yang kemungkinan
merupakan
bagian dari upaya pengintaian aparat militer. Selanjutnya, kira-kira pukul 01.00
WIB, terdengar suara tembakan sebanyak 2 (dua) kali dari arah Barat dan Selatan
atau arah mobil tersebut yang kemudian disusul dengan berondongan senjata dari
aparat militer yang berasal dari arah Selatan, Utara dan Timur pondok. Kejadian
tersebut berlangsung kurang lebih 1 (satu) jam. Pada sekitar shubuh, beberapa
berondongan tembakan diarahkan ke rumah-rumah dan selanjutnya ke jamaah.
Beberapa tembakan terhadap jamaah dilakukan dalam jarak dekat dan mematikan.
Sekitar
pukul 08.00 tanggal 7 Pebruari 1989, terjadi pembakaran rumah-rumah penduduk.
Di dalam rumah-rumah yang dibakar tersebut, utamanya di dalam salah satu
bangunan terbesar yang mereka sebut pondok, banyak terdapat anggota jamaah
Warsidi dimana sebagian besar merupakan anak-anak dan ibu-ibu. Pada 08 Pebruari
1989, di luar areal pondok terjadi pembakaran lagi terhadap rumah-rumah yang
ada di sebelah Barat dan berlanjut pada 09 Pebruari 1989 di rumah-rumah bagian
Selatan. Peristiwa ini menyebabkan banyak korban meninggal yang terdiri dari
laki-laki, perempuan dan anak-anak akibat tembakan atau pun terbakar.
Setelah itu,
terjadi penangkapan terhadap jamaah dan orang-orang yang dipandang oleh aparat
mempunyai keterkaitan dengan kelompok Warsidi yang berada di luar lokasi yaitu
Lampung, Jakarta, Bima, dan Padang. Jamaah yang ditangkap di Lampung sebagian
dibawa untuk pertama kali antara lain ke Kelurahan Rajabasa Lama, ke Koramil
Way Jepara, Polsek Jabung, Polsek Way Jepara dan, Polsek Sukadana. Setelah itu
mereka dibawa ke Kodim Metro dan selanjutnya dibawa ke Korem 043/Garuda Hitam
serta kemudian ditahan di LP Rajabasa. Penangkapan terjadi tanpa surat perintah
penangkapan. Sementara itu, jamaah yang ditangkap di Jakarta ditempatkan di
Kramat Lima, atau terlebih dahulu dibawa ke Kodim Jakarta Timur, kemudian
dibawa ke Kramat Tujuh, dan selanjutnya ditempatkan di Satgas Intel Pusat di
Gang Buntu. Setelah itu, terjadi penangkapan terhadap jamaah dan orang-orang
yang dipandang oleh aparat mempunyai keterkaitan dengan kelompok Warsidi yang
berada di luar lokasi yaitu Lampung, Jakarta, Bima, dan Padang.
Pada
peristiwa penangkapan dan/atau pemeriksaan terjadi tindak kekerasan, dan/atau
penyiksaan. Sebagian besar jamaah setelah pemeriksaan dilakukan, dilepaskan dan
tidak diproses hukum. Jamaah atau mereka yang dianggap terkait dengan Warsidi,
yang berada di Lampung, namun tidak diadili, sebelum dilepaskan, sebagian ditempatkan
terlebih dahulu di Panti Sosial Lempasing. Sebagian jamaah yang akan dilepaskan
setelah pemeriksaan dipertemukan dengan Komandan Korem 043 Garuda Hitam A.M.
Hendropriyono. Sebagian di antaranya diancam dengan meminta mereka untuk tidak
mengatakan apa yang terjadi saat mereka ditangkap.
Sebagian
yang dilepaskan dikenai wajib lapor kepada kelurahan/institusi militer terdekat
antara lain Kelurahan Bauh Gunung Sari, Koramil Jabung, Koramil Labuhan Maringgai
dan Polsek Way Jepara. Jangka waktu wajib lapor bervariasi antara 1 (satu) hingga 4 tahun. Jamaah yang dikenai wajib
lapor, mendapat ancaman dan dipaksa untuk melakukan beberapa jenis pekerjaan.
Sebagian jamaah setelah dilepaskan mendapat teror dan ancaman dari aparat
militer.
Sebagian
jamaah diadili di Pengadilan Negeri Tanjungkarang dengan tuduhan subversif dan
dijatuhi hukuman rata-rata pidana subversi dengan hukuman penjara, rata-rata
seumur hidup dan sebagian pidana penjara, kemudian menjalani hukuman di LP
Rajabasa dan kemudian dipindahkan di LP Nusakambangan.
Beberapa
orang yang ditangkap di Jakarta, diproses hukum dan diadili di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, PN Jakarta Utara dan atau PN Jakarta Timur juga dengan tuduhan
subversi dengan tuntutan hukuman seumur hidup dan vonis antara 15 tahun hingga
seumur hidup. Mereka yang diadili di Jakarta kemudian menjalani hukuman di LP
Cipinang.
Sebagian
besar jamaah menderita kehilangan harta benda dan/atau pekerjaan mereka.
Sebagian lagi, mereka mengalami kesulitan mencari pekerjaan dan mendapat stigma
dan dikucilkan masyarakat.
Bentuk-bentuk Kejahatan Yang Terjadi
Dalam Peristiwa Talangsari
Pembunuhan
Serangan
yang terjadi pada 7 Pebruari 1989 terhadap penduduk sipil yaitu jamaah Pondok
Pesantren Warsidi di Desa Cihideung dilakukan oleh pelaku yang dapat diidentifikasi
sebagai aparat militer. Serangan tersebut mengakibatkan sekurang-kurangnya
sebanyak 130 orang meninggal dunia.
Pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa
Sebagai
akibat dari serangan militer yang dalam aksinya juga telah melakukan pembakaran
terhadap rumah-rumah penduduk, sesuai dengan keterangan saksi Kepala Dusun,
setidaknya tercatat sebanyak 109 (seratus sembilan) rumah yang terbakar dan
atau rusak.
Sehubungan
dengan dibakarnya serta dirusaknya rumah-rumah penduduk serta adanya larangan
dari aparat militer terhadap penduduk untuk kembali ke rumahnya, maka telah
mengakibatkan pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. Berdasarkan
hasil penyelidikan yang telah dilakukan, sekurang-kurangnya tercatat sebanyak
77 (tujuh puluh tujuh).
Perampasan Kemerdekaan Secara
Sewenang-wenang
Dari hasil
penyelidikan ditemukan fakta-fakta tentang terjadinya tindak pidana perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang. Tindak perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang terjadi sebelum dan setelah penyerangan jamaah Warsidi pada 7
Pebruari 1989. Sesuai dengan hasil penyelidikan, didapati sekurang-kurangnya
sebanyak 53 (lima puluh tiga) orang yang dirampas kemerdekaannya secara
sewenang-wenang orang dalam bentuk penangkapan dan penahanan secara
sewenang-wenang.
Penyiksaan
Bahwa hampir
di semua lokasi penangkapan dan penahanan terjadi praktik kekerasan dan
penyiksaan, yang dimulai dari proses penangkapan, menuju tempat tahanan, selama
pemeriksaan maupun selama dalam tahanan. Secara umum penyiksaan dilakukan untuk
mendapatkan keterangan, pemaksaan untuk mengakui sesuatu, pemaksaan untuk
menandatangani sesuatu, dan sebab-sebab yang tidak diketahui alasannya.
Penyiksaan yang dilakukan dengan metode khusus misalnya penyetruman, penginjakan
kaki dengan kursi yang diduduki dan penyundutan rokok yang dilakukan saat
interogasi dengan tujuan untuk mendapatkan keterangan atau pengakuan.
Penyiksaan yang terjadi tidak hanya dilakukan secara fisik tetapi juga secara
mental, misalnya dengan adanya ancaman pembunuhan, intimidasi, caci maki dengan
kata-kata kotor, stigmatisasi sebagai kelompok PKI, Mujahidin, dan cacian
lainnya yang merendahkan martabat manusia.
Berdasarkan
rangkaian peristiwa kekerasan yang terjadi, jumlah korban penyik
saan di
berbagai tempat penahanan tersebut sekurang-kurangnya sebanyak 46 (empat puluh
enam) orang.
Penganiayaan
Pada
peristiwa Talangsari 1989 ditemukan fakta bahwatelah terjadi penganiayaan sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 9 huruf h Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Berdasarkan
hasil penyelidikan yang telah dilakukan, sekurang-kurangnya terdapat sebanyak 268
(dua ratus enam puluh delapan) orang yang menja
di korban
penganiayaan (persekusi).
Gambaran Korban
Latar
belakang korban-korban yang secara khusus memang telah dipilih menjadi sasaran
tindakan kekerasan para aparat militer dan sipil, yakni mereka yang dianggap
sebagai anggota jamaah Warsidi dan/atau mereka yang dianggap terkait/terafiliasi
dengan kelompok Warsidi.
Bahwa korban
pembunuhan sampai saat ini jumlah keseluruhan belum secara pasti terkalkulasi
secara pasti. Namun demikian, berdasarkan keterangan para saksi tersebut telah
jelas bahwa terdapat ratusan korban yang meninggal baik dari penglihatan saksi
pada saat terjadinya peristiwa, penglihatan saksi pada saat penguburan para
korban dan kesaksian beberapa saksi yang menyatakan telah menemukan kerangka
para korban dibeberapa lokasi maupun keterangan saksi yang menyatakan bahwa
orang-orang tertentu yang pada waktu terjadinya peristiwa berada di
lokasi/tempat kejadian, namun selanjutnya sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya
dan diperkirakan menjadi korban mati pada peristiwa itu.
Sesuai
dengan data, fakta dan informasi yang diperoleh dari saksi selama proses
penyelidikan,
didapati adanya tindak kejahatan berupa pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa. Adapun penduduk sipil yang menjadi korban sehingga terjadinya
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa adalah sebagian besar para
pengikut Warsidi. Selain itu, penduduk sekitar yang tinggal berdekatan dengan
pondok Warsidi juga menjadi korban pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa.
Bahwa
berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh selama proses penyelidikan, dapat
disimpulkan telah terpenuhinya unsur-unsur perampasan kemerdekaan atau perampasan
kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang terhadap satu orang atau lebih yang
melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional yang terlihat dari
sifat sewenang-wenangnya proses penangkapan dan penahanan dalam keadaan tidak
manusiawi. Bahwa korban perampasan kemerdekaan/kebebasan fisik secara
sewenang-wenang yang berhasil teridentifikasi sementara ini semuanya adalah
penduduk sipil anggota jamaah, penduduk sipil bukan anggota jamaah yang tinggal
di sekitar Mushola Mujahidin (mushola Warsidi) dan masyarakat sipil yang tinggal
di luar dusun Cihideung.
Bahwa korban
kejahatan penyiksaan, berdasarkan keterangan para saksi menunjukkan bahwa para
korban adalah penduduk sipil yang ditangkap dan berada dalam lokasi penahanan.
Bukti-bukti penyiksaan selain sebagaimana dinyatakan oleh para saksi juga dapat
dilihat dari bekas-bekas penyiksaan pada tubuh korban yang sampai saat ini
masih terlihat. Korban penyiksaan ini terdiri dari laki-laki maupun perempuan
mengalami penderitaan fisik maupun mental dan bahkan beberapa korban sampai
saat ini masih menderita secara fisik dan mental.
Bahwa korban
persekusi yang berhasil teridentifikasi sementara ini semua adalah penduduk
sipil anggota jamaah Warsidi, penduduk sipil bukan anggota jamaah yang tinggal
di sekitar Mushola Mujahidin (mushola Warsidi) dan penduduk sipil yang tinggal
di luar Dusun Cihideung. Berdasarkan hasil penyelidikan, ditemukan bahwa dapat
dibuktikan sebagian besar korban merupakan laki-laki dewasa. Selain itu, juga menemukan
bahwa sebagian korban adalah perempuan dan anak-anak termasuk di antaranya
bayi-bayi.
Klasifikasi Korban
Bahwa
berdasarkan kesaksian terdapat beberapa klasifikasi korban yakni; pertama,
korban yang telah menjadi target sasaran yakni para korban adalah penduduk sipil
yang secara khusus telah dipilih menjadi sasaran tindakan kekerasan para aparat
militer dan sipil, yakni mereka yang dianggap sebagai anggota jamaah Warsidi dan/atau
mereka yang dianggap terkait dengan kelompok Warsidi. Kedua, para korban yang
dianggap mempunyai keterkaitan dengan kelompok Jamaah Warsidi namun dalam
kenyataannya para korban ini bukan merupakan kelompok yang ditargetkan. Bahwa
klasifikasi korban dapat juga terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa, dan
juga anak-anak.
Bahwa
karakteristik korban yang telah ditargetkan yakni kelompok Jamaah Warsidi dan
afiliasinya ini menegaskan adanya kejahatan persekusi (persecution) yang ditujukan
pada suatu kelompok tertentu atau perkumpulan, dimana dicantumkan motif berupa
perbedaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama., jeniskelamin
atau alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut
hukum internasional.
Jumlah Korban
Bahwa
berdasarkan keterangan dari para saksi, korban dari kejahatan yang terjadi adalah
korban dalam jumlah yang banyak (multiple of victims) dan bukan merupakan
korban tunggal (single victim), sehingga telah memenuhi unsur “large scale”.
Berikut merupakan jumlah korban berdasarkan keterangan para saksi:
a.
Korban
pembunuhansekurang-kurangnya berjumlah 130 orang.
b. Korban pengusiran atau pemindahan
penduduk secara paksa sekurang-kurangya tercatat sebanyak 77 (tujuh puluh
tujuh) orang.
c. Perampasan Kemerdekaan secara
sewenang-wenang, sekurang-kurangnya
d. sejumlah 53 (lima puluh tiga) orang.
e. Korban Penyiksaan, sekurang-kurangya
tercatat sebanyak 46 (empat puluh
f. enam) orang.
g. Korban Persekusi mencakup keseluruhan
korban pembunuhan, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dan
penyiksaan.
Dengan
demikian sekurang-kurangnya yang menjadi korban penganiayaan berjumlah 229 (dua
ratus dua pulum sembilan) Orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar