Rabu, 15 Februari 2017

Gambaran Umum Peristiwa Talangsari
Konteks awal terbentuknya jamaah Warsidi dimulai dengan pendirian Mushola Mujahidin oleh Jayus dan keluarga pada 1977, yang selanjutnya diikuti dengan
pendirian rumah dan pondok pesantren.
Pada sekitar 1984, Jayus berkenalan dengan Warsidi dan mengundang Warsidi
untuk bergabung menjadi jamaah Mushola tersebut. Kurang lebih ½ tahun mengikuti kegiatan di mushola tersebut, Jayus melihat bahwa Warsidi adalah orang yang tepat untuk menjadi imam mushola. Kemudian pada 1986 Jayus mendirikan pondok pesantren dan Warsidi menjadi imamnya.
Pengajian Warsidi bercita-cita untuk menegakkan keadilan dan kebenaran khususnya menegakkan syariat Islam. Kelompok ini mayoritas terdiri dari orang-
orang pendukung NII (Negara Islam Indonesia)/Darul Islam (DI) faksi Abdullah Sungkar ditambah faksi Ajengan Masduki dan Aceng Kurnia. Mereka berasal dari
Jakarta, Solo, Bandung dan Lampung. Kelompok ini meyakini bahwa syariat Islam tidak akan terwujud tanpa adanya negara Islam
Setelah terjadi peristiwa Tanjung Priok pada 1984, terjadi penumpasan gerakan Islam termasuk Gerakan Abdullah Sungkar. Sebagian pengikut kelompok Abdullah Sungkar yang berhasil lolos, kemudian melarikan diri ke Jakarta dan bergabung dengan beberapa orang dari Jakarta (kelompok Jakarta) yang telah mempunyai kelompok dan basis massa sendiri yaitu kelompok Nurhidayat beranggotakan antara lain, Alex alias Muhammad Ali, Dede Saefudin, Darsono, Fauzi Isman, Maulana Abdul Latif dan lain-lain. Sebagian lainnya melarikan diri dari Solo ke Lampung danmenjadi jamaah Warsidi.
Lambat-laun, kelompok yang berada di Jakarta berkembang dan kelompok ini memandang bahwa suasana pada waktu itu sangat represif bagi perjuangan Islam. Oleh sebab itu, dari serangkaian pertemuan yang mereka selenggarakan menyepakati bahwa untuk memulai perjuangan Islam harus dilakukan dengan membuat basecamp dan perkampungan Islam serta melakukan hijrah. Mereka memandang ada dua pilihan untuk tempat hijrah yaitu Bima atau Lampung.
Dari hasil pemantauan atau investigasi yang dilakukan, mereka mengetahui adanya kemiripan gerakan mereka dengan gerakan di Lampung yaitu pengajian Warsidi. Oleh karena itu, pada awal Agustus 1988, kelompok Jakarta yang diwakili oleh Nur Hidayat Assegaf bertemu dengan anggota kelompok Warsidi yaitu Ir. Usman, Heri, Umar, Sholeh di rumah Sofwan di Jl. Mardani, Jakarta Pusat. Pada akhir Agustus 1988 dilaksanakan pertemuan di rumah Haji Didin Solehudin di Cibinong. Pertemuan ini dihadiri oleh sekitar 40 orang wakil dari beberapa daerah antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Lampung. Rapat menyepakati “untuk berbuat sesuatu guna mencegah Indonesia dari kehancuran”. Rapat selanjutnya memilih Nurhidayat sebagai Amir Musyafir dan menyepakati Lampung sebagai tempat hijrah dengan alasan bahwa di Lampung cikal jamaah pengajian sudah terbentuk dan jauh dari Jakarta. Pada awal September 1988 dilakukan peninjauan lokasi di Lampung oleh Nurhidayat, Darsono, dkk. Mereka bertemu Warsidi dan menegaskan kembali Lampung sebagai tempat hijrah. Dalam pertemuan itu, sebagai Amir Musyafir Nurhidayat diminta untuk memerintahkan jamaahnya agar hijrah ke Lampung. Setelah itu, terjadi pengiriman jamaah ke Lampung. Setiap wilayah diminta untuk mengirim dua orang wakil untuk dikirim ke Lampung dan dilatih agar mempunyai empat kemampuan, yaitu fisik (komando), dakwah, mencari dana dan konsolidasi.
Rangkaian Peristiwa Talangsari
Pada awal bulan Januari 1989, Muspika Way Jepara mengadakan pertemuan yang juga dihadiri oleh salah satu anggota jamaah bernama Rojai bersama istrinya yang bernama Sakeh. Pertemuan tersebut memutuskan untuk membubarkan jamaah Talangsari dengan alasan jamaah tidak taat dan memusuhi Pemerintah. Jamaah diberitahu informasi tersebut, namun jamaah tidak takut karena merasa tidak bersalah.
Pada Januari 1989, pihak Kecamatan mengirimkan surat yang ditandatangani oleh Camat Way Jepara bernama Zulkifli Maliki yang isinya meminta agar Warsidi menjelaskan tentang status kegiatan pengajian dan pesantren yang disebutkannya sebagai kegiatan tanpa ijin. Setelah bermusyawarah dengan jamaahnya, Warsidi membalas surat panggilan tersebut dengan mengirimkan surat yang isinya; pertama, dengan mengutip hadist, menyatakan bahwa sebaik-baiknya Umaro datang ke Ulama dan sejelek-jeleknya Ulama yang datang ke Umaro; kedua, tidak dapat memenuhi panggilan dikarenakan kesibukan mengisi pengajian dan ketiga, mempersilakan Camat untuk datang sendiri ke lokasi pengajian/pesantren agar mengetahui keadaan pesantren.
Selanjutnya, pada sekitar akhir Januari 1989, Camat bersama rombongan datang ke lokasi pondok dan menanyakan mengapa Warsidi tidak datang memenuhi undangan Camat serta mengundang Warsidi sekali lagi secara lisan. Warsidi menjawab siap untuk datang. Namun, setelah bermusyawarah dengan jamaahnya, Warsidi memutuskan tidak memenuhi undangan lisan tersebut dengan alasan takut bahwa hal itu hanyalah kedok untuk menangkap Warsidi.
Sehari kemudian, seorang anggota Koramil Way Jepara yang bernama Serka Dahlan dan Kepala Dusun (Kadus) Talangsari bernama Sukidi datang dan masuk ke Musholla tanpa melepas sepatu dan marah-marah menantang jamaah. Ia mengatakan “Saya tidak takut terhadap kalian!”. Hal ini membuat situasi mulai
memanas.
Pada awal Pebruari 1989, seorang jamaah menerima informasi dari seorang anggota Koramil, bahwa pondok akan dihancurkan oleh Pemerintah. Warsidi kemudian mengundang jamaah ke mushola yang dihadiri oleh 50 orang untuk membahas situasi yang berkembang. Diputuskan apapun resikonya, jamaah harus bertahan. Jamaah yang berada di Cihideung kemudian mulai membuat panah dari bambu. Pada Sabtu malam, 4 Pebruari 1989, jamaah juga mulai melakukan penjagaan dengan mengambil alih pos ronda dari masyarakat setempat. Pada Minggu, 5 Pebruari 1989 mulai pagi hari, jamaah mempersiapkan diri dan berjaga terhadap segala kemungkinan jika terjadi serangan. Mereka belajar memanah, membeli golok dan memperbaiki panah-panah yang rusak serta membuat racun untuk dilekatkan pada panah-panah mereka.
Minggu malam, 5 Pebruari 1989 (menjelang tanggal 6 Pebruari 1989), penjagaan
dilakukan oleh 7 (tujuh) orang jamaah yang bernama Mudiman, Mursyidin, Hardiwan, Abdul Rahman, Muhdiyanto, Joko dan Ir Usman. Pos jaga jaraknya sekitar 400 meter dari pondok arah Timur. Setelah jam 24.00, Serka Dahlan Bataud, anggota Koramil Way Jepara, dan Babinsa bernama Koptu Rahman dibantu oleh masyarakat non jamaah yang ronda di sebelah Timur, serta Pamong Desa dan Hansip mendatangi pos jaga dan menodong para jamaah yang bertugas jaga pondok. Mereka diminta angkat tangan. Selanjutnya, Serka Dahlan Bataud dari Koramil Way Jepara dan Babinsa bernama Koptu Rahman mengikat 6 (enam) orang di antara mereka (kecuali Joko alias Sadar yang melarikan diri), dan membawanya ke Koramil Way Jepara. Di tengah jalan, 1 (satu) orang bernama Usman berhasil meloloskan diri dan kembali ke pondok lalu melaporkan peristiwa penangkapan tersebut kepada Warsidi.
Malam itu juga, Warsidi mengumpulkan jamaah. Warsidi menunjuk dan memerintahkan 11 (sebelas) orang yaitu Fadillah alias Sugito, Riyanto, Abadi Abdullah, Tardi Nurdiansyah, Zainuri, Heriyanto, Beni, Muadi, Sodikin, Sugeng Yulianto, dan Muklis di bawah pimpinan Fadillah alias Sugito untuk membebaskan 5 orang yang ditangkap oleh aparat. Malam itu juga mereka berangkat dengan membawa senjata berupa golok, panah serta bom Molotov.
Pada 6 Pebruari 1989, sekitar pukul 11.30 WIB, rombongan berjumlah sekitar 20
orang terdiri atas Kasdim Metro bernama Mayor Oloan Sinaga, Danramil Way Jepara bernama Kapten Sutiman, Serka Dahlan Bataud, Camat Way Jepara bernama Zulkifli Maliki dan Stafnya, Lurah Rajabasa Lama bernama Amir Puspamega, Kadus Talangsari bernama Sukidi, dan beberapa orang lagi menuju ke pondok pesantren Warsidi. Kapten Sutiman mengendarai sepeda motor dan berada paling depan serta menembak ke arah pos jaga. Mendengar tembakan tersebut, sekitar 4 orang yang sedang tidur-tidur di pos jaga tersebut meneriakkan “Allahu Akbar”. Selanjutnya, jamaah yang berada di pondok keluar dan mengejar ke arah suara tembakan tadi.
Sepeda motor Kapten Sutiman terjatuh dan dia meninggalkan sepeda motornya dengan berlari mundur sambil terus menembak. Sedangkan, rombongan yang lain berbalik arah dan melarikan diri meninggalkan pondok. Dalam pelariannya, tidak jauh dari pondok, Kapten Sutiman dipanah oleh jamaah dan terkena di dada kiri dan dada kanannya dan akhirnya Kapten Sutiman tewas dalam kejadian tersebut. Setelah sholat dhuhur berjamaah, Jamaah mengubur jenazah Kapten Sutiman. Jamaah yang lain melakukan pembongkaran jembatan di jalan-jalan keluar masuk pondok serta membuat lubang di jalan yang tidak terhalang oleh sungai supaya pihak luar tidak bisa masuk ke lokasi pondok.
Sementara itu, setibanya di Way Jepara 11 (sebelas) orang utusan Warsidi tidak berhasil membebaskan 5 (lima) orang yang ditangkap aparat karena sudah  dipindahkan ke Kodim Metro. Mereka memutuskan untuk pergi ke rumah Zamzuri di Sidorejo. Kemudian mereka mengutus salah seorang untuk memberitahukan Warsidi mengenai kegagalan pembebasan jamaah. Sekembalinya dari Warsidi, Ia membawa informasi kematian Kapten Sutiman dan perintah Warsidi untuk membuat kekacauan di Bandar Lampung guna mengalihkan perhatian Pemerintah dan TNI.
Selanjutnya, pada Selasa, 7 Pebruari 1989, sekitar pukul 00.00 WIB, datang mobil Fuso hilir mudik di sekitar pondok pesantren Cihideung yang kemungkinan
merupakan bagian dari upaya pengintaian aparat militer. Selanjutnya, kira-kira pukul 01.00 WIB, terdengar suara tembakan sebanyak 2 (dua) kali dari arah Barat dan Selatan atau arah mobil tersebut yang kemudian disusul dengan berondongan senjata dari aparat militer yang berasal dari arah Selatan, Utara dan Timur pondok. Kejadian tersebut berlangsung kurang lebih 1 (satu) jam. Pada sekitar shubuh, beberapa berondongan tembakan diarahkan ke rumah-rumah dan selanjutnya ke jamaah. Beberapa tembakan terhadap jamaah dilakukan dalam jarak dekat dan mematikan.
Sekitar pukul 08.00 tanggal 7 Pebruari 1989, terjadi pembakaran rumah-rumah penduduk. Di dalam rumah-rumah yang dibakar tersebut, utamanya di dalam salah satu bangunan terbesar yang mereka sebut pondok, banyak terdapat anggota jamaah Warsidi dimana sebagian besar merupakan anak-anak dan ibu-ibu. Pada 08 Pebruari 1989, di luar areal pondok terjadi pembakaran lagi terhadap rumah-rumah yang ada di sebelah Barat dan berlanjut pada 09 Pebruari 1989 di rumah-rumah bagian Selatan. Peristiwa ini menyebabkan banyak korban meninggal yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak akibat tembakan atau pun terbakar.
Setelah itu, terjadi penangkapan terhadap jamaah dan orang-orang yang dipandang oleh aparat mempunyai keterkaitan dengan kelompok Warsidi yang berada di luar lokasi yaitu Lampung, Jakarta, Bima, dan Padang. Jamaah yang ditangkap di Lampung sebagian dibawa untuk pertama kali antara lain ke Kelurahan Rajabasa Lama, ke Koramil Way Jepara, Polsek Jabung, Polsek Way Jepara dan, Polsek Sukadana. Setelah itu mereka dibawa ke Kodim Metro dan selanjutnya dibawa ke Korem 043/Garuda Hitam serta kemudian ditahan di LP Rajabasa. Penangkapan terjadi tanpa surat perintah penangkapan. Sementara itu, jamaah yang ditangkap di Jakarta ditempatkan di Kramat Lima, atau terlebih dahulu dibawa ke Kodim Jakarta Timur, kemudian dibawa ke Kramat Tujuh, dan selanjutnya ditempatkan di Satgas Intel Pusat di Gang Buntu. Setelah itu, terjadi penangkapan terhadap jamaah dan orang-orang yang dipandang oleh aparat mempunyai keterkaitan dengan kelompok Warsidi yang berada di luar lokasi yaitu Lampung, Jakarta, Bima, dan Padang.
Pada peristiwa penangkapan dan/atau pemeriksaan terjadi tindak kekerasan, dan/atau penyiksaan. Sebagian besar jamaah setelah pemeriksaan dilakukan, dilepaskan dan tidak diproses hukum. Jamaah atau mereka yang dianggap terkait dengan Warsidi, yang berada di Lampung, namun tidak diadili, sebelum dilepaskan, sebagian ditempatkan terlebih dahulu di Panti Sosial Lempasing. Sebagian jamaah yang akan dilepaskan setelah pemeriksaan dipertemukan dengan Komandan Korem 043 Garuda Hitam A.M. Hendropriyono. Sebagian di antaranya diancam dengan meminta mereka untuk tidak mengatakan apa yang terjadi saat mereka ditangkap.
Sebagian yang dilepaskan dikenai wajib lapor kepada kelurahan/institusi militer terdekat antara lain Kelurahan Bauh Gunung Sari, Koramil Jabung, Koramil Labuhan Maringgai dan Polsek Way Jepara. Jangka waktu wajib lapor bervariasi antara 1  (satu) hingga 4 tahun. Jamaah yang dikenai wajib lapor, mendapat ancaman dan dipaksa untuk melakukan beberapa jenis pekerjaan. Sebagian jamaah setelah dilepaskan mendapat teror dan ancaman dari aparat militer.
Sebagian jamaah diadili di Pengadilan Negeri Tanjungkarang dengan tuduhan subversif dan dijatuhi hukuman rata-rata pidana subversi dengan hukuman penjara, rata-rata seumur hidup dan sebagian pidana penjara, kemudian menjalani hukuman di LP Rajabasa dan kemudian dipindahkan di LP Nusakambangan.
Beberapa orang yang ditangkap di Jakarta, diproses hukum dan diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, PN Jakarta Utara dan atau PN Jakarta Timur juga dengan tuduhan subversi dengan tuntutan hukuman seumur hidup dan vonis antara 15 tahun hingga seumur hidup. Mereka yang diadili di Jakarta kemudian menjalani hukuman di LP Cipinang.
Sebagian besar jamaah menderita kehilangan harta benda dan/atau pekerjaan mereka. Sebagian lagi, mereka mengalami kesulitan mencari pekerjaan dan mendapat stigma dan dikucilkan masyarakat.
Bentuk-bentuk Kejahatan Yang Terjadi Dalam Peristiwa Talangsari
Pembunuhan
Serangan yang terjadi pada 7 Pebruari 1989 terhadap penduduk sipil yaitu jamaah Pondok Pesantren Warsidi di Desa Cihideung dilakukan oleh pelaku yang dapat diidentifikasi sebagai aparat militer. Serangan tersebut mengakibatkan sekurang-kurangnya sebanyak 130 orang meninggal dunia.
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
Sebagai akibat dari serangan militer yang dalam aksinya juga telah melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk, sesuai dengan keterangan saksi Kepala Dusun, setidaknya tercatat sebanyak 109 (seratus sembilan) rumah yang terbakar dan atau rusak.
Sehubungan dengan dibakarnya serta dirusaknya rumah-rumah penduduk serta adanya larangan dari aparat militer terhadap penduduk untuk kembali ke rumahnya, maka telah mengakibatkan pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. Berdasarkan hasil penyelidikan yang telah dilakukan, sekurang-kurangnya tercatat sebanyak 77 (tujuh puluh tujuh).
Perampasan Kemerdekaan Secara Sewenang-wenang
Dari hasil penyelidikan ditemukan fakta-fakta tentang terjadinya tindak pidana perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Tindak perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang terjadi sebelum dan setelah penyerangan jamaah Warsidi pada 7 Pebruari 1989. Sesuai dengan hasil penyelidikan, didapati sekurang-kurangnya sebanyak 53 (lima puluh tiga) orang yang dirampas kemerdekaannya secara sewenang-wenang orang dalam bentuk penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang.
Penyiksaan
Bahwa hampir di semua lokasi penangkapan dan penahanan terjadi praktik kekerasan dan penyiksaan, yang dimulai dari proses penangkapan, menuju tempat tahanan, selama pemeriksaan maupun selama dalam tahanan. Secara umum penyiksaan dilakukan untuk mendapatkan keterangan, pemaksaan untuk mengakui sesuatu, pemaksaan untuk menandatangani sesuatu, dan sebab-sebab yang tidak diketahui alasannya. Penyiksaan yang dilakukan dengan metode khusus misalnya penyetruman, penginjakan kaki dengan kursi yang diduduki dan penyundutan rokok yang dilakukan saat interogasi dengan tujuan untuk mendapatkan keterangan atau pengakuan. Penyiksaan yang terjadi tidak hanya dilakukan secara fisik tetapi juga secara mental, misalnya dengan adanya ancaman pembunuhan, intimidasi, caci maki dengan kata-kata kotor, stigmatisasi sebagai kelompok PKI, Mujahidin, dan cacian lainnya yang merendahkan martabat manusia.
Berdasarkan rangkaian peristiwa kekerasan yang terjadi, jumlah korban penyik
saan di berbagai tempat penahanan tersebut sekurang-kurangnya sebanyak 46 (empat puluh enam) orang.
Penganiayaan
Pada peristiwa Talangsari 1989 ditemukan fakta bahwatelah terjadi penganiayaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 huruf h Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Berdasarkan hasil penyelidikan yang telah dilakukan, sekurang-kurangnya terdapat sebanyak 268 (dua ratus enam puluh delapan) orang yang menja
di korban penganiayaan (persekusi).
Gambaran Korban
Latar belakang korban-korban yang secara khusus memang telah dipilih menjadi sasaran tindakan kekerasan para aparat militer dan sipil, yakni mereka yang dianggap sebagai anggota jamaah Warsidi dan/atau mereka yang dianggap terkait/terafiliasi dengan kelompok Warsidi.
Bahwa korban pembunuhan sampai saat ini jumlah keseluruhan belum secara pasti terkalkulasi secara pasti. Namun demikian, berdasarkan keterangan para saksi tersebut telah jelas bahwa terdapat ratusan korban yang meninggal baik dari penglihatan saksi pada saat terjadinya peristiwa, penglihatan saksi pada saat penguburan para korban dan kesaksian beberapa saksi yang menyatakan telah menemukan kerangka para korban dibeberapa lokasi maupun keterangan saksi yang menyatakan bahwa orang-orang tertentu yang pada waktu terjadinya peristiwa berada di lokasi/tempat kejadian, namun selanjutnya sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya dan diperkirakan menjadi korban mati pada peristiwa itu.
Sesuai dengan data, fakta dan informasi yang diperoleh dari saksi selama proses
penyelidikan, didapati adanya tindak kejahatan berupa pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. Adapun penduduk sipil yang menjadi korban sehingga terjadinya pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa adalah sebagian besar para pengikut Warsidi. Selain itu, penduduk sekitar yang tinggal berdekatan dengan pondok Warsidi juga menjadi korban pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh selama proses penyelidikan, dapat disimpulkan telah terpenuhinya unsur-unsur perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang terhadap satu orang atau lebih yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional yang terlihat dari sifat sewenang-wenangnya proses penangkapan dan penahanan dalam keadaan tidak manusiawi. Bahwa korban perampasan kemerdekaan/kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang berhasil teridentifikasi sementara ini semuanya adalah penduduk sipil anggota jamaah, penduduk sipil bukan anggota jamaah yang tinggal di sekitar Mushola Mujahidin (mushola Warsidi) dan masyarakat sipil yang tinggal di luar dusun Cihideung.
Bahwa korban kejahatan penyiksaan, berdasarkan keterangan para saksi menunjukkan bahwa para korban adalah penduduk sipil yang ditangkap dan berada dalam lokasi penahanan. Bukti-bukti penyiksaan selain sebagaimana dinyatakan oleh para saksi juga dapat dilihat dari bekas-bekas penyiksaan pada tubuh korban yang sampai saat ini masih terlihat. Korban penyiksaan ini terdiri dari laki-laki maupun perempuan mengalami penderitaan fisik maupun mental dan bahkan beberapa korban sampai saat ini masih menderita secara fisik dan mental.
Bahwa korban persekusi yang berhasil teridentifikasi sementara ini semua adalah penduduk sipil anggota jamaah Warsidi, penduduk sipil bukan anggota jamaah yang tinggal di sekitar Mushola Mujahidin (mushola Warsidi) dan penduduk sipil yang tinggal di luar Dusun Cihideung. Berdasarkan hasil penyelidikan, ditemukan bahwa dapat dibuktikan sebagian besar korban merupakan laki-laki dewasa. Selain itu, juga menemukan bahwa sebagian korban adalah perempuan dan anak-anak termasuk di antaranya bayi-bayi.
Klasifikasi Korban
Bahwa berdasarkan kesaksian terdapat beberapa klasifikasi korban yakni; pertama, korban yang telah menjadi target sasaran yakni para korban adalah penduduk sipil yang secara khusus telah dipilih menjadi sasaran tindakan kekerasan para aparat militer dan sipil, yakni mereka yang dianggap sebagai anggota jamaah Warsidi dan/atau mereka yang dianggap terkait dengan kelompok Warsidi. Kedua, para korban yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan kelompok Jamaah Warsidi namun dalam kenyataannya para korban ini bukan merupakan kelompok yang ditargetkan. Bahwa klasifikasi korban dapat juga terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa, dan juga anak-anak.
Bahwa karakteristik korban yang telah ditargetkan yakni kelompok Jamaah Warsidi dan afiliasinya ini menegaskan adanya kejahatan persekusi (persecution) yang ditujukan pada suatu kelompok tertentu atau perkumpulan, dimana dicantumkan motif berupa perbedaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama., jeniskelamin atau alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
Jumlah Korban
Bahwa berdasarkan keterangan dari para saksi, korban dari kejahatan yang terjadi adalah korban dalam jumlah yang banyak (multiple of victims) dan bukan merupakan korban tunggal (single victim), sehingga telah memenuhi unsur “large scale”. Berikut merupakan jumlah korban berdasarkan keterangan para saksi:
a.    Korban pembunuhansekurang-kurangnya berjumlah 130 orang.
b.    Korban pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa sekurang-kurangya tercatat sebanyak 77 (tujuh puluh tujuh) orang.
c.    Perampasan Kemerdekaan secara sewenang-wenang, sekurang-kurangnya
d.    sejumlah 53 (lima puluh tiga) orang.
e.    Korban Penyiksaan, sekurang-kurangya tercatat sebanyak 46 (empat puluh
f.     enam) orang.
g.   Korban Persekusi mencakup keseluruhan korban pembunuhan, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dan penyiksaan.
Dengan demikian sekurang-kurangnya yang menjadi korban penganiayaan berjumlah 229 (dua ratus dua pulum sembilan) Orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar