PERILAKU
HALAL DAN HARAM DALAM BERDAGANG
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Etika Bisnis Islam
Dosen
Pengampu : Hasanain Haikal
Di
susun Oleh :
Via Andriyani ( 1420310026 )
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH / MBS
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perubahan dan
perkembangan yang terjadi dewasa ini menunjukkan kecenderungan yang cukup
memprehatinkan, namun sengat menarik untuk dikritisi. Praktek atau aktivitas
hidup yang dijalani umat manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada
khususnya, menunjukkan kecenderungan pada aktivitas yang banyak menanggalkan
nilai-nilai atau etika ke-Islaman, terutama dalam dunia bisnis.
Padahal secara tegas rasulullah pernah bersabda bahwa bisnis
adalah suatu lahan yang paling banyak mendatangkan keberkahan. Dengan
demikian, aktivitas perdagangan atau bisnis nampaknya merupakan arena yang
paling memberikan keuntungan. Namun harus dipahami, bahwa praktik – praktik
bisnis yang seharusnya dilakukan setiap menusia, menurut ajaran islam, telah
ditentukan batasan – batasannya. Oleh karena itu, islam memberikan kategorisasi
bisnis yang diperbolehkan (halal) dan bisnis yang dilarang (haram).
Maka
dari itu didalam makalah ini kami akan membahas tentang bagaimana pengertian
bisnis, bisnis islam, praktik bisnis islam, dan ada beberapa tingkatan perilaku
halal dan haram dalam islam. Dan juga dijelaskan secara rinci tentang praktik
bisnis yang diperbolehkan dan dilarang menurut islam.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
tingkatan perilaku halal dan tidak halal dalam Islam?
2. Bagaimanakah
cara mendapatkan bisnis yang halal dan
tidak halal?
3. Bagaimanakah
praktik bisnis Islam yang halal dan tidak halal?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tingkatan
Halal dan Tidak Halal Dalam Islam
Dalam
menjelaskan aturan-aturan moral Islam, sangat penting bagi kita untuk memahami
bahwa tindakan-tindakan dapat dikategorikan menurut tingkatan yang halal
ataupun yang tidak halal. Dalam fiqh, terdapat lima jenis tindakan
sebagai berikut:
1. Fard
menunjukkan jenis tindakan yang bersifat wajib bagi setiap orang yang mengaku
sebagai Muslim. Misalnya, melaksanakan sholat lima kali sehari, berpuasa, dan
zakat adalah sejumlah tindakan wajib yang harus dilaksanakan seorang Muslim.
2. Mustahabb
menunjukkan tindakan yang tidak bersifat wajib namun sangat dianjurkan bagi
kaum Muslim. Contoh tindakan ini mencakup puasa sunnah setelah Ramadhan,
melaksanakan sholat nawafil, dan lain-lain.
3. Mubah
menunjukkan tindakan yang boleh dilakukan dalam pengertian tidak diwajibkan
namun juga tidak dilarang. Sebagai contoh, seorang Muslim barangkali menyukai
jenis makanan halal tertentu dibanding makanan halal yang lain.
Atau seorang Muslim suka berkebun.
4. Makruh
menunjukkan tindakan yang tidak sepenuhnya dilarang, namun dibenci oleh Allah.
Tingkatan makruh lebih kurang disbanding haram, dan hukumnya juga lebih kurang
disbanding hukuman haram, kecuali jika dilakukan secara berlebihan dan dengan
cara yang cenderung membawa kepada yang haram. Sebagai contoh, meskipun merokok
tidak dilarang sebagaimana meminum alkohol, merokok merupakan tindakan makruh.
5. Haram
menunjukkan tindakan yang berdosa dan dilarang. Berbuat sesuatu yang haram
adalah sebuah dosa besar, misalanya membunuh, berzinah, dan meminum alkohol.
Tindakan seperti ini cenderung akan mendatangkan hukuman dari Allah SWT baik di
akherat maupun hukuman secara legal di dunia ini.[1]
Dalam memetakan perilaku etis seseorang,
sangatlah penting bagi kaum Muslim baik untukmenghindari hal-hal yang tidak
hala dan juga untuk menghindari hal-hal yan tidak halal menjadi sesutau yang
halal.[2]
Allah SWT berfirman:
Katakanlah:
Terangkanlah kepadaku mengenai rezeki yang diturunkan Allah SWT kepadamu, lalu
kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal. Katakanlah: Apakah Allah
SWT telah memberikan izin kepadamu mengenai hal ini ataukah kamu mengada-adakan
saja terhadap Allah SWT?[3]
Hal yang sebaliknya juga berlaku sama.
Kaum Muslim tidak boleh mengharamkan apa yang menurut Allah SWT halal. Sebagai
contoh, kerbau barangkali merupakan spesies yang mulai langka. Seseorang
mungkin berhenti memburunya agar spesies ini berkembang kembali, namun ia tidak
menyatakan bahwa memakan daging kebau atau memperdagangkan kulit kerbau adalah
dilarang.[4]
B. Cara
mendapatkan bisnis yang halal dan tidak halal[5]
1.
Cara mendapatkan bisnis yang halal
adalah sebagai berikut:
a) Harta yang diambil tanpa pemilik
karena memang asalnya tidak ada pemiliknya.
Harta ini dinamakan ahli fikih dengan Ihraaj al-Mubahaat atau Milku
al-Mubahaat; karena seorang muslim memiliki harta yang belum ada sebelumnya
pemilik dengan cara seperti ini selama tidak ada hubungan dengan hak orang
lain. Contohnya tambang didalam tanah apabila dia yang mencari dan
mendapatkannya maka dia adalah orang yang paling berhak atasnya.
b) Harta
yang diambil secara paksa dari orang yang tidak ada perlindungan Islam
Harta ini yang didapatkan kaum muslimin dengan sebab berjihad memerangi
orang kafir yang tidak ada perlindungan islam atasnya seperti harta fai’ dan
ghanimah setelah dikeluarkan 20 % untuk Allah dan rasulNya
c) Harta
yang diambil paksa dengan benar ketika orang yang wajib membayarnya tidak mau
membayar.
Contohnya harta zakat atau nafkah wajib apabila pemiliknya tidak mau
menunaikannya, maka diambil darinya tanpa keridhaan darinya dengan sarana
peradilan islam. Hal ini menjadi milik secara syar’I dengan syarat mencukupkan
ukuran yang seharusnya tidak boleh berlebihan. Kecuali bila pemerintah ingin
menghukum dan memberi pelajaran kepada orang yang tidak mau berzakat.
d) Harta
yang diambil sebagai kompensasi penggantian.
Diantaranya yang didapatkan dengan jual beli. Ini hukumnya halal bila
memenuhi syarat-syarat dan rukunnya.
e) Harta
yang diambil tanpa kompensasi.
Seperti harta sedekah, hadiah, wasiat dan lain-lainnya apabila
diperhatikan syarat-syaratnya.
f) Harta
yang didapat tanpa ada usaha dan keridhoan pemiliknya.
Seperti harta waris yang masuk kepemilikan ahli waris tanpa kehendak
pewaris. Inilah sejumlah kategori usaha mendapatkan harta halal secara umum
apabila memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
2. Cara
mendapatkan bisnis yang tidak halal adalah sebagai berikut:
a) Harta haram yang didapat tanpa izin
pemiliknya dan tanpa izin syariat.
Harta
dalam bentuk ini keluar dari kekuasaan pemiliknya tanpa keridhaan dan kehendak
pemiliknya tersebut. Harta pada asalnya tidak keluar dari kepemilikan
pemiliknya dan pindah kepada orang lain kecuali dengan izin dan kehendaknya.
Semua bisnis yang melanggar syarat ini maka pemilikannya batil menyelisihi
kaedah kepemilikan syar’i.
Oleh
karena itu, semua harta yang ada dari jalan terlarang dalam syariat dan
mengambilnya tanpa keridhaan pemiliknya maka harta haram yang tidak boleh
dimiliki dan diusahakan seorang muslim; karena berisi memakan harta orang lain
dengan batil dan berisi pelanggaran hak-hak orang lain.
Diantara
sarana-sarananya adalah: Mencuri (sariqah), Suap (Risywah), Merampas (Ghashab),
Ihtikaar, Riba dan penipuan
b)
Harta haram yang dengan izin pemiliknya saja
Harta yang didapatkan dengan cara
terlarang secara syar’I dan mendapatkan izin dari pemiliknya, maka harta ini
didapatkan dari bisnis yang haram seperti yang pertama namun berbeda dari sisi
dosanya.
Pada jenis yang pertama dosa ada pada yang mengambilnya tanpa
yang memberi. Sedangkan yang ini keduanya berdosa. Contohnya: perjudian dan
berdagang barang terlarang.
Harta seperti ini mungkin dikategorikan menjadi dua bagian:
1) Berupa barang atau manfaatnya mubah
dan diharamkan karena tujuannya, seperti orang yang menjual anggur untuk dibuat
minuman keras.
2) Barang atau manfaatnya haram dan
dilarang seperti bayaran pezina dan hasil penjualan minuman keras. Ini
diharamkan walaupun tidak terjadi bisnis padanya dan tidak sah serah terimanya;
karena diantara syarat serah terima yang sah adalah akadnya pada barang atau
manfaat yang diperbolehkan, namun bila terjadi serah terima maka tidak
dikembalikan lagi kepadanya; karena ini membantu mereka bermaksiat.
C. Praktik
bisnis Islam
1. Bisnis
yang halal
Islam
melalui tauladan Rasulullah SAW dan para Khalifah yang selalu terjaga
tindakannya, menunjukkan betapa pentingnya arti perdagangan atau bisnis. Abu
Bakar ra menjalankan usaha perdagangan pakaian, ‘Umar ra memiliki bisnis
perdagangan jagung, dan ‘Utsman ra juga memiliki usaha perdagangan pakaian.
Kaum Anshar yang mengikuti Rasulullah SAW menjalankan usaha pertanian.
Sebenarnya, kecuali untuk perdagangan yang telah dilarang, Islam secara aktif
mendorong Kaum Muslim untuk melakukan bisnis dan perdagangan:
Rasulullah SAW (semoga
rahmat terlimpah kepadanya) ditanya mengenai apakah mata pencaharian yang
paling bak, dan menjawab, “Pekerjaan yang dilakukan dengan tangannya sendiri
dan setiap transaksi bisnis yang disepakati.”
(hadis dari Rafi’ ibn
Khadij dalam bukunya Mishkat al Masabih, hadis no. 2783)[6]
Adapun praktik bisnis
yang halal adalah sebagai berikut:
a) Pekerjaan
dalam bidang pertanian
Allah
SWT menjelaskan dalam al-Quran proses-proses yang mendasari bidang pertanian
dan perkebunan; bagaimana hujan diturunkan dan mengalir diseluruh permukaan
bumi, membuatnya subur dan dapat ditanami; bagaimana angin memainkan peranan
yang penting dalam menyebarkan benih-benih; dan bagaimana tanaman bertumbuh.[7]
Dan Allah SWT telah
meratakan bumi untuk makhluk-Nya: dibumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma
yang mempunyai kelopak mayang: dan biji-bijian bekulit dan berbunga-bunga yang
harum baunya. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?[8]
Al Qardhawi juga
menyebutkan hadis dibawah ini untuk mendukung pentingnya pekerjaan di bidang
pertanian:
Rasulullah SAW (semoga
rahmat terlimpah kepadanya) berkata, “tak seorangpun diantara Kaum Muslim yang
menanam sebuah pohon atau menyebarkan benih-benih, dan kemudian seekor burung,
atau seorang manusia atau binatang apapun memakannya, kecuali itu merupakan
hadiah yang murah hati baginya.”
(hadis dari Anas ibn
Malik dalam bukunya Shahih al-Bukhari, 3.513)[9]
b) Pekerjaan
dalam bidang industri dan profesional
Di
samping bidang pertanian, kaum Muslimin juga didorong untuk mengembangkan
kemampuan dalam bidang industri, kerajinan dan profesi yang sangat penting
untuk mempertahankan hidup dan memperbaiki masyarakat.
2. Bisnis
yang tidak halal
a) Perdagangan
alkohol
Perdagangan
dan konsumsi alkohol dilarang dalam Islam:
Sesungguhnya, Allah SWT
membenci khamr dan membenci orang yang memproduksinya, orang yang kepadanya
khamr yang diproduksi, orang yang meminumnya, orang yang menyediakannya, orang
yang membawanya, orang yang kepadanya khamr dibawa, orang yang menjualnya,
orang yang mendapat uang dari penjualannya, orang yang membelinya, serta orang
yang kepadanya khamr dibeli.
(Diriwayatkan oleh
Tirmizhi dan Ibn Majah, sebagaimana yang dikutip oleh al Qardhawi, hlm. 74)[10]
b) Transaksi
dan perdagangan obat-obatan terlarang
Yusuf Qardhawi mengklasifikasikan obat-obatan
terlarang seperti mariyuana, kokain, opium, dan berbagai jenis lainnya dibawah
kategori khamr yang dilarang dalam Islam. Karena jenis obat-obatan
seperti ini dapat memabukkan, menimbulkan halusinasi, mangakibatkan timbulnya
tindak kejahatan dan berpengaruh merusak bagi penggunanya.[11]
Allah SWT berfirman:
Dan janganlah kamu
membunuh dirimu sendiri; sesungguhnya Allah SWT adalah Maha Penyayang kepadamu.[12]
c) Pembuatan
dan penjualan barang-barang haram
Seperti
dapat dilihat dari perdagangan khamr, maka perdagangan barang-barang
yang dipergunakan untuk melakukan dosa adalah juga haram, misalnya pornografi,
ganja, dan obat-obatan lainnya, pembuatan patung dan lain-lain. Rasulullah SAW
bersabda:
Allah SWT dan Rasul-Nya
melarang perdagangan alkohol, bangkai binatang, babi dan berhala.
(hadis dari Jabir Ibn ‘Abd Allah, dalam Shahih
al Bukhari, hadis no. 3438 )[13]
Telah diriwayatkan
nash-nash atau dalil tegas yang mengharamkan banyak bentuk jual beli, seperti
jual beli minuman keras, bangkai, babi dan sejenisnya. Tidak diragukan lagi
bahwa apabila Allah mengharamkan sesuatu, pasti Allah juga mengharamkan
menjualnya. Maka semua keuntungan yang berasal dari penjualan juga haram, karena
dianggap cara mencari rizki yang kotor, berasal dari usaha yang rusak.[14]
d) Pelacuran
Meskipun
legal di banyak Negara, namun Islam melarang perdagangan ini. Sebenarnya ketika
Islam datang, Islam berusaha mengakhiri eksploitasi perempuan dalam praktik pelacuran
ini.[15]
e) Al
Gharar
Gharar
yaitu jual beli yang tidak jelas, mengandung unsur ketidakpastian/spekulasi dan
penipuan.[16]
Rasulullah SAW melarang
semua bentuk perdagangan yang tidak pasti, berkaitan dengan jumlah yang tidak
ditentukan secara khusus atas barang-barang yang akan ditukarkan atau
dikirimkan, misalnya penjualan binatang yang belum lahir, penjualan hasil
pertanian yang belum dipanen, dan lain-lain.[17]
Abu Hurairah ra
berkata: “Nabi melarang jual beli gharar (spekulasi).”
(Matan lain: Muslim
2782, Tirmudzi 1151, Nasa’I 4442, Abi Daud 2932, Ibnu Majah 2185, Ahmad 9255)[18]
Rasulullah SAW, semoga
Allah SWT memberkati dan memberinya kedamaian, melarang penjualan buah-buahan
sampai buah-buahan tersebut mulai masak.
Ia melarang transaksi jual beli baik kepada pembeli maupun penjualnya.[19]
f) Bentuk
sharecropping*) yang dilarang
Bentuk
yang pertama, misalnya seorang pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang
lain untuk ditanami. Penggarap tanah ini mempergunakan alat pertaniannya
sendiri, benih dan binatang ternaknya sendiri dan ia akan mendapat persentase
tertentu dari hasil pertanian di tanah tersebut. Sang pemilik tanah juga dapat
menyediakan benih, peralatan dan binatang ternak untuk menggarap tanah
tersebut. Bentuk bagi hasil seperti ini yang diperbolehkan dalam Islam.
Bentuk
kedua praktik bagi hasil yang disebut sebagai mukharabah tidak
diperbolehkan dalam Islam. Dalam praktik bagi hasil ini, sang pemilik tanah
meminta ukuran atau takaran tertentu atas hasil panen padinya, dan sang
penggarap tanah hanya memeproleh sisa hasil panen tersebut. Jika tanah tersebut
hanya sebgian yang produktif maka sang penggarap tanah tidak mendapat bagian
apapun. Inilah mengapa Rasulullah SAW meminta agar kedua belah pihak membagi
keseluruhan hasil panen tersebut, baik banyak ataupun sedikit, dan melarang
praktik bagi hasil seperti ini.[20]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tingkatan halal dan tidak halal dalam islam dibagi
menjadi beberapa bagian yaitu fard, mustahabb, mubah, makruh, dan haram. Dan
cara mendapatkan bisnis yang halal dan tidak halal di bagi menjadi beberapa
bagian yang sudah diterangkan dalam pembahasan.
Praktik
bisnis halal:
a) Pekerjaan
dalam bidang pertanian
b) Pekerjaan
dalam bidang industri dan professional
Praktik
bisnis yang tidak halal:
a) Perdagangan
alkohol
b) Transaksi
dan perdagangan obat-obatan terlarang
c) Pembuatan
dan penjualan barang-barang haram
d) Pelacuran
e) Al-gharar
f) Bentuk
sharecropping*) yang dilarang
B. Saran
Pada kenyataannya, pembuatan makalah ini masih
bersifat sangat sederhana dan simpel. Setelah penulis dapat menyelesaikan
masalah makalah ini, penulis mengharapkan saran dan kritik dari dosen
pembimbing dan rekan mahasiswa sekalian demi kesempurnaan makalah ini. Dan
semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membaca. Aamiin.
DAFTAR
PUSTAKA
Ilfi Nur Diana.
2008. Hadis-Hadis Ekonomi. Malang: UIN-MALANG PRESS (Anggota IKAPI).
Abdullah al-mushlih
dan shalah ash-Shawi. 2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul
Haq.
Muhammad dan R.
Lukman Fauroni. 2002Visi Al-Quran Tentang Etika dan Bisnis, Jakarta:
Salemba Diniyah.
BIODATA PEMAKALAH
Nama
: Via Andriyani
NIM
: 1420310026
Asal
sekolah : SMA NU Al Ma’ruf Kudus
Alamat
: Payaman Rt. 3 Rw. 4 Mejobo
Kudus
Nama
: Elma Eviana
NIM
: 1420310027
Asal
sekolah : SMAN 1 Jekulo Kudus
Alamat
: Ds. Klaling Rt. 1 Rw. 3
Jekulo Kudus
Nama
: Nurma Kumalasari
NIM
: 1420310029
Asal
sekolah : SMAN 1 Jekulo Kudus
Alamat
: Bulung Cangkring Rt. 3 Rw. 9
Jekulo Kudus
[1]
Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Visi Al-Quran Tentang Etika dan Bisnis, Salemba
Diniyah, Jakarta, 2002, edisi pertama, hlm. 130-131
[2] Ibid.
hlm. 132
[3]
QS. Yunus (10) : 59
[4]
Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Op.,cit, hlm. 133
[6]
Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Loc., cit, Hlm. 133
[7]Muhammad
dan R. Lukman Fauroni, Ibid, Hlm. 135
[8]
QS. Ar-Rahman (55) : 10-13
[9]
Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Loc., cit, Hlm. 135
[10]
Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Ibid, Hlm. 136
[11]
Muhammad dan R. Lukman Fauroni, ibid, hlm. 137
[12]
QS. An-Nisa (4) : 29
[13] Muhammad
dan R. Lukman Fauroni, Op., cit Hlm. 138
[14]
Abdullah al-mushlih dan shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam,
Darul Haq, Jakarta, 2004, hlm. 331
[15] Ibid.
Hlm 138
[16]
Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi, UIN-MALANG PRESS (Anggota IKAPI),
Malang, 2008, cet. I, hlm. 127
[17]
Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Loc., cit, hlm. 138
[18]
Ilfi Nur Diana, Loc., cit, hlm. 127
[19]
Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Op., cit, hlm. 139
[20] Muhammad
dan R. Lukman Fauroni, Loc.., cit, hlm. 139
Tidak ada komentar:
Posting Komentar